
JAKARTA - Sejumlah lembaga sekuritas baru-baru ini memaparkan pandangan mereka terkait proyeksi tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun 2026. RHB Sekuritas Indonesia menyoroti kemungkinan adanya penurunan cukai rokok, namun penyesuaian itu kemungkinan hanya berlaku pada golongan atau jenis tertentu.
Wendy Chandra, analis RHB Sekuritas Indonesia, menjelaskan bahwa peluang penurunan cukai untuk produk sigaret kretek mesin (SKM) terbilang kecil. Hal ini karena SKM memegang peranan penting sebagai kontributor utama penerimaan negara. “Probabilitas penurunan CHT untuk SKM terbilang tipis mengingat perannya yang dominan bagi penerimaan negara,” ujarnya pada Rabu (17 September 2025).
Di sisi lain, Wendy menyoroti bahwa sigaret kretek tangan (SKT) memiliki peluang lebih besar untuk mendapat keringanan cukai. Alasannya, SKT bersifat padat karya dan menyerap tenaga kerja sekitar enam juta orang di sektor pertanian dan manufaktur. Dimensi sosial ini dinilai memberi insentif bagi pembuat kebijakan untuk mendukung industri SKT secara selektif.
Baca Juga
Sebagai ilustrasi, data RHB Sekuritas menunjukkan bahwa rokok SKM saat ini menanggung beban cukai sekitar 54,5% dari harga eceran. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding SKT yang hanya menanggung 24%–26% dari harga jual. Besarnya porsi cukai SKM menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara, sedangkan SKT, meski kontribusi penerimaannya lebih kecil, tetap menjadi prioritas dukungan kebijakan karena efek sosial dan lapangan kerja yang luas.
“Oleh karena itu, menurut kami, pendekatan jalur ganda (dual-track approach) jauh lebih memungkinkan daripada keringanan menyeluruh,” tambah Wendy.
Sementara itu, Indo Premier Sekuritas menilai bahwa kenaikan cukai rokok pada 2026 kemungkinan hanya akan berada di level satu digit rendah. Analis Indo Premier, Andrianto Saputra dan Nicholas Bryan, mengungkapkan bahwa pemerintah, melalui Kemenkeu, dapat mempertahankan tarif CHT tetap stabil jika berhasil membatasi peredaran rokok ilegal secara efektif.
Selain itu, pelaku industri rokok disebut telah mendorong pemerintah agar menyesuaikan kenaikan cukai 2026 dengan tingkat inflasi. Mereka menekankan, kenaikan yang terlalu tinggi berpotensi mendorong migrasi konsumen ke rokok ilegal. Saat ini, rokok ilegal menjadi tantangan besar bagi industri hasil tembakau, menyumbang 20%–30% dari total peredaran rokok di Indonesia.
“Kami memandang kenaikan cukai yang agresif akan menguntungkan rokok ilegal karena kesenjangan harga antara rokok legal dan ilegal akan semakin lebar. Oleh karena itu, kami meyakini kenaikan cukai rokok yang kurang agresif sebagai solusi untuk mengurangi penurunan perdagangan rokok ilegal,” jelas Andrianto dan Nicholas dalam riset mereka pada Senin (15 September 2025).
Pendapat senada juga muncul dari Sucor Sekuritas. Mereka menilai penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani membuka peluang bagi kebijakan cukai rokok yang lebih longgar. Penguatan kinerja saham emiten rokok pasca-penunjukan Purbaya menunjukkan optimisme investor terhadap kemungkinan keringanan cukai.
“Reaksi pasar menunjukkan saham emiten rokok menguat setelah penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan baru, mencerminkan optimisme investor akan potensi keringanan dari kenaikan cukai yang tajam,” ungkap Giovanus Marcell Lie dan Niko Pandowo, analis Sucor Sekuritas, dalam laporan Jumat (12/9/2025).
Menurut para analis, optimisme ini memiliki dasar bila dibandingkan dengan tren kenaikan cukai SKM Golongan I pada periode 2016–2024 di era Sri Mulyani, yang mencapai pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) 12,5%. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan CAGR 7,5% pada periode 2009–2016.
“Peralihan ke kebijakan cukai yang lebih lunak akan menandai titik balik yang signifikan, memberikan stabilitas yang dibutuhkan industri dan visibilitas pendapatan yang lebih baik,” kata Giovanus dan Niko.
Secara keseluruhan, proyeksi para analis menyiratkan bahwa penyesuaian cukai rokok 2026 kemungkinan bersifat selektif dan terukur. Sementara SKM tetap menjadi sumber penerimaan utama yang berpotensi sedikit diubah, SKT justru berpeluang mendapatkan keringanan karena faktor sosial dan ekonomi yang mendukung. Pendekatan dual-track ini dianggap lebih realistis dibandingkan kebijakan penurunan menyeluruh.
Di sisi lain, kenaikan cukai yang terlalu agresif juga dianggap kontraproduktif karena dapat memperbesar peredaran rokok ilegal. Strategi pengendalian rokok ilegal, penyesuaian tarif sesuai inflasi, serta potensi keringanan selektif menjadi poin penting yang dipertimbangkan pemerintah dan pelaku industri untuk menjaga keseimbangan antara penerimaan negara, kesehatan publik, dan stabilitas industri.

Wildan Dwi Aldi Saputra
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Kangean Energy Terapkan Teknologi OBN Eksplorasi Migas Ramah Lingkungan
- Selasa, 23 September 2025
Terpopuler
1.
Daftar Uang Rupiah Dicabut Bank Indonesia, Simak Ketentuan Terbaru
- 23 September 2025
2.
DANA Perkuat Keamanan Transaksi dengan Jaminan Anti Pending
- 23 September 2025
3.
Panduan Aman Nonaktifkan GoPay Paylater Lewat Gojek
- 23 September 2025
4.
Cara Cerdas Mengatur Prioritas Belanja Online Saat Diskon
- 23 September 2025
5.
KPR FLPP 2025 Dorong Masyarakat Miliki Rumah Terjangkau
- 23 September 2025