Bahlil Tegaskan SPBU Swasta Dibatasi Impor BBM Sementara

Selasa, 23 September 2025 | 14:49:20 WIB
Bahlil Tegaskan SPBU Swasta Dibatasi Impor BBM Sementara

JAKARTA - Kebijakan impor bahan bakar minyak (BBM) melalui skema satu pintu lewat PT Pertamina (Persero) kembali menjadi sorotan publik. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa aturan tersebut hanya bersifat sementara dan akan berakhir pada 2025. 

Penegasan ini sekaligus menjawab kegelisahan pelaku usaha ritel BBM swasta yang selama ini merasa ruang geraknya dibatasi.

Menurut Bahlil, pemerintah tidak bermaksud menutup sepenuhnya akses impor bagi operator Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) non-Pertamina. 

Namun, untuk menjaga keseimbangan pasokan nasional dan mencegah kelebihan suplai, pemerintah menerapkan pembatasan kuota impor yang wajib disalurkan lewat Pertamina hingga tahun depan. Setelah 2025, operator swasta kembali diperbolehkan mengajukan izin impor secara mandiri.

“Impor ini bukan satu pintu. Kuota impor sudah diberikan 110 persen dibandingkan tahun 2024. Contoh kalau AKR dapat 1 juta kiloliter pada 2024, maka 2025 ditambah 10 persen menjadi 1,1 juta kiloliter,” jelas Bahlil dalam konferensi pers di kantornya.

Kuota Impor Dibatasi untuk Menjaga Pasokan

Bahlil menekankan bahwa BBM adalah cabang industri strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, negara berkewajiban mengatur distribusinya sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, tanpa kontrol ketat, kelebihan pasokan dapat menimbulkan distorsi pasar dan merugikan konsumen.

“Negara ini ada aturan. Harus semuanya sesuai aturan. Pembatasan itu bagian daripada aturan, jangan juga over suplai,” kata Bahlil.

Ia menambahkan, pembatasan kuota terhadap SPBU swasta juga mempertimbangkan posisi dominan Pertamina yang saat ini masih menguasai sekitar 92,5 persen pangsa pasar penjualan BBM di Indonesia. Adapun porsi SPBU swasta hanya berkisar 1–3 persen.

Dengan kondisi itu, Bahlil menyebut pemerintah akan menghitung ulang pangsa pasar operator swasta untuk menentukan kuota impor pada periode setelah 2025. “Skemanya tahun depan kita akan menyusun dengan baik. Pemerintah akan menghitung betul market share dari swasta, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujarnya.

Kritik dari KPPU soal Persaingan Usaha

Meski pemerintah menilai kebijakan ini penting untuk stabilitas pasokan energi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) justru melihat potensi masalah dalam aspek persaingan usaha. Menurut KPPU, pembatasan impor BBM swasta dapat mengurangi pilihan konsumen dan memperbesar dominasi Pertamina di pasar ritel.

Berdasarkan temuan KPPU, tambahan kuota impor yang diberikan kepada SPBU swasta pada 2025 hanya berkisar 7.000–44.000 kiloliter. Angka ini jauh di bawah tambahan kuota Pertamina yang mencapai 613.000 kiloliter. Ketimpangan tersebut memunculkan dugaan praktik monopoli yang bisa berdampak buruk bagi iklim usaha di sektor energi.

Sejumlah pengamat energi juga menilai bahwa meskipun niat pemerintah menjaga pasokan patut diapresiasi, mekanisme distribusi kuota perlu dibuat lebih transparan agar tidak menimbulkan ketidakadilan. Tanpa mekanisme yang jelas, operator swasta berpotensi terus berada di posisi subordinat.

Aturan Sementara Menuju Transisi

Bahlil menegaskan kembali bahwa skema impor lewat Pertamina tidak dimaksudkan sebagai kebijakan permanen. Tahun 2026 menjadi titik awal kembalinya swasta untuk memperoleh izin impor mandiri. Namun, hingga kini, pemerintah belum memutuskan berapa besar kuota yang akan diberikan.

Ia hanya memberi bocoran bahwa penghitungan ulang pangsa pasar akan menjadi dasar penyusunan kuota baru. Dengan begitu, regulasi pasca-2025 diharapkan lebih seimbang antara kebutuhan menjaga cadangan energi nasional dan memberikan ruang usaha bagi operator swasta.

“Untuk SPBU swasta, itu memang cadangannya sudah menipis. Secara aturan, menyangkut cabang industri yang menguasai hidup orang banyak itu dikuasai oleh negara, BBM cabang industri strategis,” tegasnya.

Menjaga Keseimbangan Pasar dan Kepentingan Publik

Kebijakan ini pada dasarnya mencerminkan dilema klasik antara kebutuhan menjaga kedaulatan energi dan tuntutan menciptakan pasar yang kompetitif. Di satu sisi, pemerintah harus memastikan cadangan BBM tetap terkendali agar tidak menimbulkan krisis pasokan. Di sisi lain, keterlibatan swasta juga dibutuhkan untuk menciptakan efisiensi, inovasi layanan, dan harga yang lebih kompetitif bagi masyarakat.

Dengan pangsa pasar Pertamina yang dominan, pemerintah berupaya memastikan distribusi tetap merata dan tidak hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu. Namun, jika pembatasan terlalu ketat, dikhawatirkan dapat mengurangi iklim persaingan sehat dan merugikan konsumen dalam jangka panjang.

Menanti Formula Baru Pasca 2025

Menjelang berakhirnya aturan sementara ini, pelaku usaha dan pengamat energi menantikan formula baru yang lebih transparan dan berkeadilan. Harapan utamanya adalah terciptanya keseimbangan antara peran negara sebagai pengendali cadangan energi strategis dan kontribusi swasta dalam memperkuat distribusi BBM nasional.

Dengan kepastian regulasi yang lebih jelas, sektor energi diyakini mampu berkembang lebih sehat sekaligus memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Bagi pemerintah, 2025 akan menjadi tahun krusial untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya menjaga stabilitas energi, tetapi juga memberi ruang kompetisi yang adil di pasar BBM nasional.

Terkini

Harga BBM Pertamina Hari Ini: Update Lengkap Seluruh Indonesia

Selasa, 23 September 2025 | 16:25:43 WIB

Harga Listrik Prabayar dan Pascabayar PLN Stabil September

Selasa, 23 September 2025 | 16:25:42 WIB

Pilihan 5 Rumah Murah Kota Padang, Tipe 36 Mulai Rp 117 Juta

Selasa, 23 September 2025 | 16:25:41 WIB

Penyaluran KUR Perumahan Siap Dukung UMKM Produktif

Selasa, 23 September 2025 | 16:25:39 WIB

PLN Andalkan Listrik Andal Dukung Stadion BJ Habibie

Selasa, 23 September 2025 | 16:25:38 WIB