Kamis, 02 Oktober 2025

Saham TOBA Cs Mencuat, Peluang Proyek WTE Danantara

Saham TOBA Cs Mencuat, Peluang Proyek WTE Danantara
Saham TOBA Cs Mencuat, Peluang Proyek WTE Danantara

JAKARTA - Sektor energi terbarukan kembali menjadi sorotan investor, khususnya saham emiten yang memiliki portofolio di proyek waste to energy (WTE).

Momentum ini seiring dengan dukungan pemerintah melalui Danantara Indonesia untuk membangun fasilitas pembangkit listrik berbasis limbah, yang didanai melalui penerbitan Patriot Bond. Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, M. Nafan Aji Gusta, menegaskan bahwa proyek WTE kini mendapat perhatian penuh dari pemerintah, terutama melalui dukungan investasi Danantara.

Berdasarkan dokumen yang diterima Bisnis.com, pemesanan Patriot Bond mencatatkan komitmen 46 investor sebesar Rp51,75 triliun hingga 19 September 2025, melebihi target Danantara sebesar Rp50 triliun. 

Baca Juga

Samudera Indonesia Suntik Rp500 Miliar ke Galangan Madura

Dana ini sebagian akan digunakan untuk membiayai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL). Menurut perhitungan Danantara, pembangunan satu titik PSEL dengan kapasitas 1.000 ton per hari beserta infrastruktur pendukung membutuhkan Rp2 triliun–Rp3 triliun. Dengan rencana pembangunan 33 titik, total biaya diproyeksikan mencapai Rp66 triliun hingga Rp99 triliun.

Nafan menekankan bahwa keterlibatan emiten seperti PT Maharaksa Biru Energi Tbk. (OASA) dan PT Astrindo Nusantara Infrastruktur Tbk. (BIPI) dalam proyek ini membuka peluang signifikan untuk pertumbuhan jangka panjang. 

“Belum lagi kalau emiten-emiten non-big caps yang kinerjanya sebelumnya relatif underwhelming, tetapi dengan adanya pembangunan PSEL atau WTE ini diharapkan bisa memperbaiki atau meningkatkan kinerja fundamental dari emiten-emiten terkait,” ujar Nafan.

Di lantai bursa, sentimen positif terhadap proyek WTE Danantara telah tercermin pada pergerakan harga saham. OASA, hingga Rabu (1/10/2025), melonjak 73,05% year-to-date (YTD) ke Rp244 dengan net buy asing sebesar Rp234,38 miliar. BIPI tumbuh 13,79% YTD ke Rp99 dengan net buy Rp382,13 miliar, sementara TOBA meroket 211,56% YTD ke Rp1.240 meski tercatat net sell asing Rp20,64 miliar.

Namun, tidak semua saham emiten WTE menunjukkan tren positif. Misalnya, PT United Tractors Tbk. (UNTR) turun 2,71% YTD ke Rp26.050 dengan net sell asing Rp60,97 miliar, dan PT Sumber Global Energy Tbk. (SGER) turun 13,61% ke Rp330 meski ada net buy asing Rp6,38 miliar. 

Nafan menyarankan investor untuk bersabar dan menunggu bagaimana emiten mengeksekusi proyek WTE mereka, khususnya OASA dan BIPI. “Sebenarnya sudah ter-priced in, tapi tinggal implementasinya yang harus kita tunggu. Karena kalau tidak ada implementasi ke depan, itu akan jadi sentimen negatif,” katanya.

Sementara itu, Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, menyoroti perbedaan aliran dana asing pada saham-saham tersebut, yang mencerminkan persepsi risiko dan valuasi. 

Misalnya, TOBA dan UNTR yang fundamentalnya kuat tercatat net sell YTD karena investor asing mengambil profit atau menilai valuasi sudah relatif premium. Sedangkan OASA, SGER, dan BIPI mencatat net buy karena dipandang sebagai “growth story” baru meski basis fundamentalnya lebih kecil.

Sukarno memberikan rekomendasi spesifik bagi investor: buy untuk TOBA dan SGER. TOBA dinilai paling defensif karena telah membukukan kontribusi nyata dari proyek WTE, sedangkan SGER menarik bagi investor yang mengincar pertumbuhan karena target pendapatan dari proyek WTE mulai terlihat. 

Untuk BIPI, Sukarno menyarankan trading buy karena proyek masih tahap awal dan berisiko tinggi, sementara OASA lebih cocok untuk long-term play dengan target 2028. UNTR direkomendasikan hold karena kontribusi WTE masih di bawah 5% dari total pendapatan, sehingga katalis belum signifikan.

Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi, menilai meskipun TOBA menjadi emiten terdepan dalam proyek WTE, valuasinya saat ini tergolong mahal. Saham TOBA diperdagangkan di sekitar 21 kali EV/EBITDA, jauh di atas rata-rata global pemain waste management di level 11–16 kali. 

“TOBA cocok untuk investor yang mencari stabilitas jangka panjang karena sudah terbukti menghasilkan pendapatan dari WTE, meski upside harga sahamnya terbatas akibat valuasi mahal,” ujarnya.

Investor asing terlihat menaruh perhatian besar pada saham emiten dengan basis bisnis relatif kecil yang baru masuk WTE, seperti OASA, SGER, dan BIPI, karena potensi pertumbuhan langsung bisa terasa. 

Meski demikian, Imam mengingatkan risiko pendanaan dan eksekusi proyek tetap ada. OASA dianggap lebih spekulatif karena proyek baru akan berjalan pada 2028, sedangkan UNTR lebih sesuai untuk investor yang mengutamakan dividen atau value play daripada energi hijau.

Secara keseluruhan, proyek WTE Danantara tidak hanya menghadirkan peluang finansial bagi emiten terkait, tetapi juga mencerminkan komitmen pemerintah terhadap transisi energi dan pengelolaan limbah berkelanjutan. Saham TOBA, OASA, BIPI, SGER, dan UNTR menjadi indikator seberapa cepat dan efektif proyek tersebut dieksekusi di lapangan, dengan potensi dampak signifikan terhadap kinerja fundamental mereka dalam jangka panjang.

Mazroh Atul Jannah

Mazroh Atul Jannah

teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.

Rekomendasi

Berita Lainnya

Kilang Dumai Terbakar, Tim Pemadam Fokus Selamatkan Unit

Kilang Dumai Terbakar, Tim Pemadam Fokus Selamatkan Unit

Kilang Dumai Kendalikan Kebakaran, Situasi Kini Aman

Kilang Dumai Kendalikan Kebakaran, Situasi Kini Aman

Danantara Ajukan Patriot Bond ke OJK, Target Rp50 Triliun

Danantara Ajukan Patriot Bond ke OJK, Target Rp50 Triliun

Danantara Tinjau Restrukturisasi Krakatau Steel, Butuh Rp8,3 Triliun

Danantara Tinjau Restrukturisasi Krakatau Steel, Butuh Rp8,3 Triliun

Asia Investment Capital Akan Akuisisi Mayoritas Saham SOFA

Asia Investment Capital Akan Akuisisi Mayoritas Saham SOFA