Apa itu masochist? Banyak orang menggunakannya tanpa benar-benar paham artinya, bahkan sekadar agar terlihat keren saat berbicara.
Padahal, perilaku masokis termasuk dalam bentuk penyimpangan seksual yang serius dan berpotensi membahayakan nyawa pasangan jika dilakukan secara ekstrem.
Tanpa disadari, ketentuan hukum di Indonesia sebenarnya telah memberikan batas tegas terhadap praktik seperti ini, karena dianggap melanggar aturan yang berlaku.
Lalu, apa itu masochist dalam konteks hukum dan hak asasi manusia di Indonesia? Bagaimana regulasi memandang tindakan ini dari sisi etika dan norma hukum?
Mari pahami penjelasannya secara menyeluruh agar tidak salah kaprah dalam menilai perilaku tersebut.
Apa Itu Masochist?
Apa itu masochist? Istilah ini memiliki akar sejarah yang berasal dari nama seorang penulis Austria abad ke-19, Leopold von Sacher-Masoch.
Dalam karya-karyanya, tokoh-tokoh fiktif yang digambarkan sering menunjukkan ketertarikan terhadap hubungan seksual yang melibatkan rasa sakit.
Dari sanalah muncul pengertian bahwa masokisme merupakan kondisi ketika seseorang merasa bergairah saat menerima rasa sakit atau penghinaan dari pasangannya, baik secara fisik maupun verbal.
Dalam konteks yang lebih luas, istilah ini merujuk pada kesenangan atau kenikmatan yang didapat dari penderitaan ekstrem.
Banyak yang belum menyadari bahwa masokisme tergolong dalam parafilia, yaitu gangguan yang berkaitan dengan dorongan seksual menyimpang.
Masokisme seringkali dikaitkan dengan sadisme karena keduanya memiliki relasi timbal balik: pelaku sadisme mendapatkan kenikmatan dengan menyakiti orang lain, sementara pelaku masokisme merasa puas ketika menjadi korban dari perlakuan menyakitkan tersebut.
Namun, penting untuk diketahui bahwa praktik masokisme dapat menimbulkan risiko fatal. Salah satu bentuk paling berbahaya adalah hipoksifilia, yakni keadaan di mana seseorang terangsang ketika asupan oksigennya berkurang.
Bentuk praktik ini bisa melibatkan kantong plastik, tali, atau bahkan bahan kimia yang digunakan untuk menekan dada hingga menghambat pernapasan dan bisa menyebabkan kematian.
Karena dorongan seksual pelaku masokisme bersumber dari rasa sakit, mereka kerap melakukan tindakan yang tidak lazim, seperti menyakiti diri sendiri saat berfantasi seksual atau saat melakukan masturbasi.
Dalam aktivitas seksual bersama pasangan, pelaku bisa meminta untuk diikat, ditutup matanya, atau bahkan dicambuk agar rangsangan seksualnya meningkat.
Masokisme sendiri biasanya muncul sejak usia kanak-kanak hingga remaja dan lebih sering ditemukan pada perempuan.
Salah satu ciri utama masokisme adalah adanya kecenderungan menyakiti diri sendiri. Berdasarkan bentuknya, masokisme terbagi menjadi dua jenis: masokisme moril dan masokisme eros.
Masokisme moril berkaitan dengan kenikmatan bawah sadar yang timbul saat seseorang tersakiti secara emosional. Meskipun terlihat sedih atau menangis, penderita justru merasa puas secara batin.
Sedangkan masokisme eros berfokus pada pengalaman fisik, yang tidak selalu melibatkan aktivitas seksual, namun tetap berkaitan dengan rasa sakit sebagai sumber kenikmatan.
Masochist Menjadi Kelainan Seksual yang Mengancam Nyawa
Bagi orang yang sudah cukup dewasa dan pernah menyaksikan film dengan tema seperti Fifty Shades of Grey, mungkin akan mengenali adanya gambaran perilaku seksual menyimpang yang berkaitan dengan masokisme.
Karena tema seperti ini sering diangkat dalam film atau media hiburan, banyak orang mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Padahal, dari sudut pandang psikologis, perilaku tersebut justru bisa menimbulkan risiko besar, bahkan mengancam keselamatan baik pelakunya sendiri maupun pasangan seksualnya.
Pada umumnya, individu dengan kecenderungan masokistik akan menyalurkan fantasi seksualnya melalui tindakan menyakiti diri.
Mereka bisa melakukan tindakan seperti menyayat kulit atau membakar bagian tubuhnya sendiri demi meraih kepuasan secara seksual.
Meski ada yang menyadari bahwa tindakan itu hanyalah bagian dari permainan peran dalam hubungan intim, tetap saja ada kemungkinan kebiasaan tersebut berkembang menjadi tindakan ekstrem.
Salah satunya adalah meningkatnya intensitas hingga mencapai tahap berbahaya yang disebut asfiksia autoerotik.
Sebagai informasi tambahan, asfiksia autoerotik adalah salah satu bentuk masokisme ekstrem, di mana seseorang secara sengaja menciptakan kondisi sesak napas atau kekurangan oksigen untuk memicu kenikmatan seksual.
Praktik ini dapat dilakukan dengan membungkus kepala menggunakan plastik hingga suplai oksigen terhenti, atau melilitkan tali maupun pakaian dalam ke leher hingga menyebabkan tercekik.
Akibatnya, tubuh akan mengalami kekurangan oksigen yang dapat berujung pada gangguan pernapasan berat hingga kematian.
Masochist dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana di Indonesia
Menurut artikel ilmiah yang disusun oleh Inna Fauziatal Ngazizah dan Maria Ulfa Fatmawati berjudul Sadomasokisme di Indonesia Perspektif HAM dan Hukum Pidana, disebutkan bahwa praktik masokisme, yang termasuk dalam lingkup sadomasokisme, merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana sekaligus bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan observasional di lapangan yang kemudian dianalisis secara deskriptif-analitis.
Pernahkah kamu mendengar istilah sadomasokisme? Ini merupakan perilaku yang melibatkan kekerasan atau perlakuan kasar yang justru memberikan rangsangan seksual kepada pelakunya.
Dalam hal ini, kenikmatan seksual diperoleh dari tindakan menyakiti atau disakiti, baik secara fisik maupun emosional, oleh pasangan yang dicintai.
Kondisi ini termasuk ke dalam gangguan mental, karena pelaku merasa terpuaskan ketika menyakiti atau menerima luka batin dari orang lain.
Istilah sadomasokisme sendiri berasal dari gabungan dua istilah: sadisme dan masokisme.
Sadisme berarti meraih kepuasan seksual dengan menyiksa orang lain, sementara masokisme adalah menikmati rangsangan seksual dari penderitaan yang diterima.
Dalam ajaran Islam, para ulama secara tegas mengharamkan praktik hubungan suami istri yang mengandung unsur kekerasan. Hubungan yang sehat mestinya dibangun atas dasar cinta, rasa hormat, dan kesetaraan.
Pendapat tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 5, yang menyatakan bahwa tidak diperbolehkan melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga, yang dibagi dalam empat bentuk.
Pertama adalah kekerasan fisik, mencakup pemukulan, pencabikan, jambakan, benturan, dan sejenisnya. Kedua adalah kekerasan psikis, seperti hinaan fisik, ejekan, ucapan kasar, atau merendahkan.
Ketiga adalah kekerasan seksual. Dan keempat adalah penelantaran rumah tangga, misalnya pergi tanpa memberikan alasan yang jelas.
Penelitian ini juga mengutip studi sebelumnya yang dilakukan oleh Mawardi, berjudul Penyimpangan Seksual dalam Hubungan Suami Istri Perspektif Hukum Islam dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Dalam jurnal itu, dijelaskan bentuk penyimpangan seksual yang dilakukan dalam relasi suami istri, khususnya terkait sadisme seksual serta praktik hubungan yang menyasar bagian tubuh yang tidak lazim, seperti dubur, yang seringkali ditemukan dalam hubungan sesama jenis.
Dalam Pasal 8 Huruf A Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, hal tersebut termasuk dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga, dan menurut hukum Islam, tindakan tersebut tidak diperbolehkan karena dianggap merugikan, mengandung unsur kekerasan, dan bertentangan dengan nilai dasar Islam, yakni Rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh makhluk.
Sadisme dan masokisme merupakan bentuk fantasi seksual yang mengandung unsur kekerasan.
Bagi mereka yang mengalami masokisme, rangsangan muncul ketika mereka mendapat perlakuan menyakitkan dari pasangannya, seperti dicambuk atau disiram dengan lilin panas.
Oleh karena itu, dalam hubungan antara pasangan sadistik dan masokistik, ada pola memberi dan menerima rasa sakit yang digunakan untuk membangkitkan gairah seksual.
Bahkan tidak jarang, pasangan ini saling bergantian peran sebagai dominan dan submisif saat melakukan hubungan intim.
Salah satu bentuk masokisme yang patut menjadi perhatian dari perspektif HAM adalah hipoksifilia.
Hipoksifilia adalah jenis rangsangan seksual yang timbul dari pembatasan oksigen ke tubuh dengan menggunakan tali, kantong plastik, atau menekan bagian dada, sehingga menurunkan asupan oksigen untuk beberapa waktu (Noermala Sari, 2006: 625).
Ciri-ciri dari perilaku masokistik ini serupa dengan karakteristik dari pelaku sadisme. Beberapa penyebab munculnya perilaku masokistik ini antara lain berasal dari pola asuh orang tua, rasa bersalah yang berlebihan, atau cinta mendalam terhadap pasangan.
Contohnya, seseorang yang pada masa kecilnya pernah dipukul oleh orang tua di bagian tubuh yang sensitif dan merasa senang karena perlakuan itu, cenderung mengulangi pengalaman serupa saat dewasa.
Rasa bersalah terhadap pasangan juga bisa mendorong seseorang untuk menerima penderitaan sebagai bentuk permintaan maaf.
Selain itu, perasaan cinta yang sangat kuat juga dapat membuat seseorang merasakan kenikmatan seksual dari penderitaan yang dialami saat bersama pasangannya.
Sadomasokisme sendiri merupakan bentuk kekerasan dalam sebuah relasi. Sepanjang tahun 2018, tercatat lebih dari seribu kasus kekerasan dalam rumah tangga, yakni sekitar 1.046 aduan.
Jumlah tersebut terus meningkat tiap tahunnya, dan sekitar 22 di antaranya merupakan kekerasan seksual, dengan rincian sebagai berikut:
- Korban dipaksa melakukan aktivitas seksual dengan menggunakan alat bantu tertentu, di bawah ancaman pasangan.
- Korban mengalami luka pada alat kelaminnya karena pasangannya menggunakan benda asing atau aksesoris saat berhubungan.
- Korban dipaksa berhubungan intim meski pasangannya menderita penyakit kelamin.
- Korban dipaksa melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, termasuk dipukul lebih dulu sebelum berhubungan.
- Korban mengalami penyiksaan fisik selama berhubungan seksual.
Rangkaian kekerasan di atas menjadi bukti bahwa perlindungan hukum masih sangat lemah, karena laporan kekerasan dalam rumah tangga masih terjadi setiap hari.
Padahal, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen kedua telah menyatakan bahwa:
"Setiap individu memiliki hak atas perlindungan terhadap diri pribadi, keluarganya, kehormatan, martabat, serta harta miliknya, dan berhak merasa aman serta bebas dari ancaman untuk bertindak atau tidak bertindak dalam batas hak asasi."
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menjelaskan bahwa tindak kekerasan dalam relasi pasangan, terutama yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan, dikenai sanksi lebih berat dibandingkan kekerasan biasa di luar hubungan hukum.
Hal ini dijabarkan dalam Pasal 351 hingga Pasal 355 KUHP. Adapun bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain:
- Kekerasan fisik, seperti pemukulan, cakaran, atau kekerasan seksual secara langsung.
- Kekerasan psikis, yakni tindakan yang menimbulkan rasa takut, hilangnya rasa percaya diri, dan perasaan tak berdaya.
- Kekerasan seksual, termasuk paksaan dalam aktivitas seksual atau hubungan yang dilakukan secara tidak wajar.
Bentuk kekerasan tersebut merupakan bagian dari karakteristik sadomasokisme. Ketika tindakan menyakiti atau disakiti terjadi tanpa kesepakatan yang sehat atau disertai paksaan, maka hal tersebut bisa dikenai sanksi hukum.
Ukuran yang digunakan adalah ada atau tidaknya kerugian atau penderitaan yang dialami oleh korban.
Masalahnya, jika kekerasan fisik tidak meninggalkan bekas yang jelas, korban seringkali kesulitan membuktikan bahwa dirinya telah menjadi sasaran tindakan yang menyakitkan dari pasangannya.
Sebagai penutup, jadi, apa itu masochist? Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang memperoleh kepuasan dari rasa sakit, yang kerap disalahartikan sebagai hal yang wajar.